Saturday, 23 September 2017

Kritik Sosial dalam Balutan Kelucuan di Aksi Bela Tawa 123 - Kedaulatan Rakyat

YOGYA, KRJOGJA.com - Suara gergaji mesin meraung-raung. Sayup-sayup terdengar gemeretak batang pohon yang hampir tumbang. Suara retakan itu kian jelas disusul gemerisik daun yang saling bersinggungan. Sesaat kemudian, terdengar suara 'brugg'. Pohon itu tumbang.

Ternyata, jalan cerita penebangan pohon tersebut bukan cuma backsound semata. Tapi juga dengan apik dimainkan komedian Yogya, Anang Batas, Eko Bebek, Dibyo Primus dan Bambang Gundul. Yang menambah penonton makin ketawa ngakak, raungan gergaji mesin itu ternyata bersumber dari sepeda motor RX King yang juga dinaikkan ke atas panggung. Begitu awal keseruan Aksi Bela Tawa 123 'Sayang Semuanya' yang mengangkat tema utama soal lingkungan didukung sepenuhnya green community Indonesia (GNI) di live performance corridor Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Minggu (12/three/2017) malam. Gelak tawa penonton yang memadati tempat acara menghiasi sejak awal hingga akhir pementasan.

Pentas Aksi Bela Tawa 123 'Sayang Semuanya' ini merupakan kolaborasi musik humor yang dibawakan duo KSR beda generasi, Kelompok Swara Ratan bentukan tahun 1983 dan Kelompok Sri Redjeki yang berdiri 2003. Selain lirik humor yang banyak memuat kritik sosial, banyak sentilan guyon parikena yang dihadirkan. "Harapannya mengkritik keras, tapi tidak terlihat. Njiwit tanpa nglarani," ucap sutradara pementasan Agoes Kencrot.

Penampilan grup yunior Kelompok Sri Redjeki menghadirkan lagu-lagu yang terbilang kekinian, mulai dari pop melankolis hingga lagu India 'Tum hello Ho'. Bahkan tembang dolanan 'Sluku-sluku Batok' ikut digarap menggunakan aransemen musik moderen.

"Suara jangan terlalu tinggi, nanti kalau di atas susah turun. Tapi juga jangan terlalu rendah. Kalau dibawah malah diinjak-injak. Yang sedang saja," ucap sang vokalis Ibnu Gundul dengan maksud menyindir tapi penuh guyonan.

Penonton juga diajak joget melalui aransemen lagu dangdut 'Mabuk Judi' tapi iringannya dangdut 'Kopi Dangdut'. Bahkan lagu koplo Jawa Timuran yang acap dibawakan OM Sera ikut digelontorkan sehingga membawa keceriaan di tengah suasana. Mengenakan busana kombinasi Jas, blangkon, kain jarik, kemeja putih dilengkapi dasi kupu-kupu layaknya priyayi di jaman kolonial, mereka mampu tampil memuaskan. Termasuk ketika menghaturkan lagu irama Jatilan berjudul 'Jaranan' dan 'Turi Putih' dilengkapi tarian jaran kepang.

Tidak ketinggalan, grup musik humor yang lebih senior, Kelompok Swara Ratan tidak mau ketinggalan. Diperkuat sejumlah nama terkenal di kalangan pemusik Yogya, seperti Agoes Kencrot, Mamik Slamet, Novi Kalur dan lainnya, mereka juga mampu membuat ngakak penonton. Mengenakan kostum jas biru dipadu bawahan sarung, lagu 'Anoman Obong' diaransemen garang. Lagu-lagu India juga dibawakan dengan kocak. Secara medley, sejumlah lagu campur-campur terus saja dipersembahkan yang membuat penonton tak henti tertawa.

"Membuat orang tertawa pada tempatnya. Jujur dengan tertawa itu. Kapan saat tepat untuk orang tertawa, itulah Aksi Bela Tawa,' ucap Kencrot.

Banyolan yang dihadirkan juga cukup khas dengan gaya komedi Yogya yang memadukan plesetan kata tapi penuh kritik sosial. Seperti halnya kebhinnekaan Indonesia harus tetap dijaga untuk persatuan bangsa. Bahwa kondisi Indonesia saat ini bisa dikatakan 'atap' yang menggantikan kata 'genting'. Keberadaan 'kotoran sapi' yang diplesetkan 'tlethong genggam' untuk telepon genggam menjadi salah satu tantangan. Pasalnya penggunaan 'langi-langit' untuk kata internit/information superhighway sudah mengkhawatirkan. Karena itu harus 'liver-liver' atau maksudnya 'hati-hati' dalam berinteraksi di media sosial misalnya saja 'tempat nasi' yang dimaksudkan 'chatting'.

Sederet kritik sosial mengenai laju pembangunan di Yogyakarta yang dipandang tidak memperhatikan kepentingan wong cilik menjadi isian yang terus saja digelorakan. Lontaran pohon yang bertumbangan berganti reklame, hamparan tanaman yang berubah menjadi inn, penggantian lantai jalan yang justru dirasa membahayakan ikut disuarakan dengan santun dan lucu.

"Yang tidak berubah cuma Sleman. Karena di Sleman ada 'Berbah'," ucap Anang Batas yang dimaksudkan kata 'Berbah' diplesetkan 'berubah'.

"Soal interpretasi, silakan penonton memberikan penilaian sendiri apa maksud yang ingin kami sampaikan," seru Kencrot sesaat sebelum manggung.

Secara garis besar, Aksi Bela Tawa 123 yang mengarah pada isu lingkungan hidup bermula dari sebuah desa kecil yang indah, damai dan tenteram. Banyak pepohonan rindang yang masih tumbuh di wilayah itu. Tidak heran, enviornment sekitar pohon yang sejuk dan rindang jadi ajang masyarakat lintas usia untuk bermain dan beraktivitas yang menjadikan tempat tersebut sebagai enviornment publik.

Tapi tidak disangka, karena kebutuhan ekonomi ada warga yang terpaksa menjual lahan miliknya. Sayangnya, di lahan itulah pohon yang memperindang daerah tersebut berdiri kokoh. Padahal oleh pemilik baru, lahan tersebut akan dibangun gedung mewah yang artinya pohon itu juga harus ditebang. Pada titik inilah permasalahan muncul. Anang yang ditugasi menjaga pohon mencari cara agar penebang tidak berhasil menebang pohon.

Termasuk membuat berbagai aksi agar upaya menebang pohon gagal. Hanya saja usaha Anang sia-sia. Karena lucunya, 'penunggu' pohon yang diidentikkan sebagai sosok halus justru tidak betah berada di pohon. Ia ingin hidup di gedung moderen nan mewah. Kelucuan-kelucuan itulah yang mengiringi upaya menebang pohon ini.

Pada kesempatan terpisah Ketua GNI Transtoto Handadhari melalui pementasan ini mengajak masyarakat merefleksi diri sekaligus mengkritisi situasi yang muncul belakangan. Sehingga semua tidak saling curiga dan kembali berkarya sambil tertawa dalam membangun negeri agar bersatu dan tetap lestari.

"GNI bukan hanya melakukan edukasi penyadaran dan praktik pelestarian lingkungan ke masyarakat sejak dini. Tapi juga melakukan pembangunan watak dan karakter anak bangsa, salah satunya membangun gerakan berbasis budaya seperti Aksi Bela Tawa 123 ini," ucap Transtoto. (R-7)

Load disqus comments

0 comments